Tiga Tersangka Mafia Tanah Pembangunan Jalan Kendari-Toronipa Resmi Diterungku
Tiga terduga pelaku mafia tanah pembangunan jalan Kendari-Toronipa akhirnya resmi ditahan penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Ketiga tersangka itu yakni, Andi Zainuddin, Milwan, dan Sulman. Mereka resmi diterungku di Rutan Kelas IIA Kendari.
Asintel Kejati Sultra Noeradi menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan, ketiganya dinyatakan bersalah dalam kasus jual beli tanah aset milik Universitas Halu Oleo Kendari.
“Atas pertimbangan penyidik dan setelah dilakukan pemeriksaan siang tadi serta petunjuk dari pimpinan, tiga tersangka kasus tanah UHO ditahan di rutan,” jelasnya, Jumat 28 Januar 2022.
Noeradi melanjutkan, pihaknya masih terus memeriksa sejumlah saksi lainnya untuk pengembangan kasus tersebut.
Ia menyebut, total ada 30 saksi yang diperiksa. Namun, pihaknya masih fokus pada ketiga tersangka tersebut.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka korupsi pembebasan lahan pembangunan jalan wisata Kendari-Toronipa.
Tersangka pertama adalah Sulman. Ia merupakan Lurah Toronipa pada 2019. Saat ini menjabat Sekretaris Camat (Sekcam) Toronipa.
Tersangka kedua adalah Milwan. Ia merupakan pegawai negeri sipil (PNS) yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) SMP Negeri 9 Kota Kendari.
Tersangka ketiga adalah Andi Zaenuddin, seorang tenaga honorer di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Asisten Intelijen Kejati Sultra, Noeradi menjelaskan, ketiga tersangka ini punya peran penting dalam perkara hilangnya aset milik UHO Kendari yang dibebaskan dalam pembangunan jalan Kendari-Toronipa.
“Ketiga tersangka melanggar ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 serta perubahannya. Bahwa akibat perbuatan para tersangka tersebut negara mengalami kerugian negara dan terhadap para tersangka dikenakan UU Tipikor UU 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dijerat dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3,” ujar Asisten Intelijen Kejati Sultra, Noeradi dalam keterangannya, Senin 17 Januari 2022.
Sementara itu, Koordinator Jaksa Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Sultra, Marolop Pandingan menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan pihak UHO Kendari atas hilangnya aset mereka di Kecamatan Toronipa.
Pada 1997, UHO Kendari membeli tanah seluas 4.892 meter persegi dari Yappe dan Mustamin Callo. Keduanya merupakan ayah dan paman tersangka Andi Zaenuddin.
Setelah membeli tanah tersebut, pihak UHO membangun laboratorium lapangan dan pembibitan ikan.
Pada 2019, hadir proyek pembangunan jalan Kendari-Toronipa yang berimbas pada pembebasan lahan. Tersangka Andi Zaenuddin mengklaim bahwa obyek tersebut sebagai tanah miliknya.
Klaimnya dengan cara memanipulasi surat atau dokumen kepemilikan tanah tersebut dengan modus seolah-olah pada tahun 2001 UHO Kendari telah mengembalikan tanah tersebut kepada yang bersangkutan. Belakangan, hal itu dibantah oleh pihak UHO Kendari.
Dokumen yang dimanipulasi ini kemudian didukung oleh tersangka Sulman selaku lurah dan tersangka Milwan selaku saksi bahwa tanah tersebut milik Andi Zaenuddin. Atas hal itu kemudian lurah menerbitkan surat keterangan penguasaan fisik atas nama Andi Zaenuddin.
Dokumen yang dipalsukan ini kemudian dijadikan dasar untuk menerima pembayaran ganti rugi sebagian tanah tersebut oleh Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sulawesi Tenggara.
“Padahal itu seharusnya tidak perlu terjadi karena tanah UHO tersebut berstatus barang milik negara (BMN). Kalau pun ganti rugi, harusnya UHO yang menerima,” bebernya.
Marolop melanjutkan, sebanyak Rp127 juta diterima oleh Andi Zaenuddin dari pembebasan lahan oleh Pemprov Sultra.
Kemudian, sisa tanah seluas 3.300 meter persegi dijual Andi Zaenuddin kepada Milwan Rp100 juta. Total Andi mengantongi Rp227 juta dari harga tanah hasil pemalsuan dokumen tersebut.
Setelah berhasil membeli tanah tersebut, Milwan dibantu tersangka Sulman menjual kembali tanah tersebut kepada istri Gubernur Sultra Ali Mazi, Agista Ariani Bombay (almarhum) kurang lebih Rp750 juta.
Anehnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe menerbitkan sertifikat hak milik tanah tersebut atas nama Agista.
“Di atas tanah tersebut telah terbit Sertifikat Hak Milik atas nama Saudari Agista sesuai dengan keterangan pihak BPN Kabupaten Konawe,” kata Asintel Kejati Sultra Noeradi.
Noeradi menuturkan, pihaknya sudah pernah meminta keterangan Agista dalam perkara ini sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. (ah/yat)