Lahan Dirampas dan Dijual Sepihak, Puluhan Warga Kabaena Selatan Melawan
Praktik jual beli lahan secara ilegal di Blok Tekonindo Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, berbuntut panjang.
Warga yang mengaku lahannya dirampas dan dijual secara diam-diam ke pihak perusahaan tambang, mengancam akan melakukan perlawanan hingga ke meja hijau sekalipun.
Tidak main-main, harga lahan seluas 142,7 hektare tersebut mencapai miliaran rupiah. Dengan dasar perhitungan Rp7.500 per meter.
Diduga, sekelompok orang merampas dan menjual lahan tersebut tanpa dokumen ke pihak perusahaan PT Tri Daya Jaya (TDJ).
Mendapati lahan tersebut telah berpindah tangan, salah seorang warga bernama Sidik marah bukan main. Pasalnya, saat lahan itu pertama kali dirintis hingga mulai ditanami tanaman perkebunan, ia dan sejumlah warga lainnya harus rela meninggalkan keluarga dan menginap di hutan selama berhari-hari.
Untuk memastikan kabar yang sampai ke telinganya, Sidik mendatangi satu-persatu orang-orang yang diduga terlibat dalam proses penjualan lahan tersebut.
“Jadi itu lahan sejak tahun 2010, kita olah bersama. Di situ kita tanam kopi, lahan itu sudah lama kita rintis. Kami banyak berkeringat di situ,” ujarnya dengan kesal.
Sidik juga mengaku tak habis pikir dengan alasan yang dikemukakan kelompok penjual lahan bahwa dokumen berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang mereka pegang sudah kedaluwarsa alias tidak berlaku lagi.
“Katanya tidak berlaku lagi karena sudah lama,” terangnya.
Sidik menegaskan dirinya tidak merelakan lahan tersebut dijual pihak lain. Ia akan mengurus dan menuntaskan permasalahan ini.
“Jika tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan atau kelompok penjual lahan itu maka akan kami laporkan ke polisi,” tegasnya.
Kemarahan juga diungkapkan Mulyono. Ia tahu betul bagaimana proses lahan itu mular dirintis hingga digarap.
“Itu sekitar 60 kepala keluarga (KK) hampir seluruh masyarakat Desa Pongkaloera terlibat. Dan pada saat itu, kami langsung tanam kopi dan beberapa jenis tanaman lain, sekitar 6 ribu pohon kami tanam,” ungkap Mulyono saat dikonfirmasi awak media melalui telepon, Selasa 1 Oktober 2024.
“Kami itu kelompok tani, kaplingan itu kami lakukan untuk perkebunan,” tambahnya.
Belakangan, kata Mulyono, lahan yang mereka garap itu masuk dalam izin usaha pertambangan (IUP).
Mulyono mengatakan pada saat kelompok orang itu melakukan kaplingan, sempat ada yang mengingatkan soal status lahan itu. Namun, peringatan itu tidak digubris.
“Di situ, diingatkan bahwa rintisan lahan yang dikapling itu, sudah masuk kaplingan kami. Hanya pada saat itu, ada salah satu yang juga tokoh masyarakat di desa kami mengatakan rintisan kami itu sudah lama dan sudah tidak berlaku,” terangnya.
“Sudah tidak diakui katanya. Saya rasa yang harus diakui yang merintis di awal, bukan yang baru datang merintis,” sambungnya.
Lanjut Mulyono menegaskan pihaknya memiliki legalitas lahan tersebut, dokumen telah dibuat pada tahun 2011.
“Pada tahun itu dokumen dibuat. Lahan langsung diukur, ada dibuat petanya. SKT-nya ada dibuat oleh aparat desa tahun itu dan ditandatangani oleh camat waktu itu,” ungkapnya.
“Bahkan, batas-batas lahan yang ada jika mereka lihat itu mereka bongkar,” tambahnya.
Mulyono mengaku, mengetahui proses dual beli lahan mereka itu dilakukan di Kendari. Uang senilai miliaran rupiah diserahkan pihak perusahaan ke kelompok penjual di salah satu hotel di Kendari. Untuk menghilangkan jejak, mereka kerap berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya.
“(Mendengar hal itu) kami marah. Hanya kami masih mengontrol diri, sambil rembuk mencari langkah-langkah selanjutnya. Jika tidak ada penyelesaian, kami akan menempuh jalur hukum, ” ungkapnya.
“Dokumen SKT-nya masih kami pegang,” kata warga lainnya, Abdul Hanif.
“Sampai kapanpun kami tidak terima. Lahan itu milik kami, yang menjual itu tidak miliki hak karena mereka baru merintis,” tegasnya.
Sementara itu, Abdul Munif selaku Ketua BPD Desa Pongkalaero mengaku mengetahui proses jual beli lahan tersebut. Saat proses transaksi akan dilakukan, ia mengaku dihubungi.
“Kebetulan ada di Kota Kendari sedang mengikuti pelatihan aparat desa. Saya tidak banyak informasi terkait itu. Saya hanya bantu saja. Kebetulan saya di Kendari, saya ada di situ dihubungi, ” terangnya saat dikonfirmasi awak media melalui sambungan telepon, Selasa 1 Oktober 2024.
“Saya beritahu, jangan diambil (lahan) karena ada yang punya itu orang-orang tua itu,” tambahnya.
Abdul Munif mengaku tidak memiliki lahan di situ, hanya sebatas membantu karena ada warga yang klaim dan memberitahu lahannya akan dijual.
“Bukan, saya yang tidak punya (lahan). Saya hanya bantu saja. Kebetulan saya ada di Kendari,” ujarnya.
Ketika ditanya status lahan tersebut, Abdul Munif mengatakan statusnya merupakan lahan areal pengguna lain (APL).
“Saya tanya perusahaan, yah begitu (statusnya APL). Terkait lahan itu, saya belum tahu banyak. Nanti jelasnya tanya ke pihak perusahaan,” ujarnya.
Sementara itu, pihak perusahaan PT Tri Daya Jaya (TDJ) yang dikonfirmasi media ini belum memberikan tanggapan terkait pembelian lahan tersebut. (Ahmad Odhe/yat)