Nasib Hutan Mangrove Muna Barat Tergusur Tambak
Cuaca terik menyengat kulit saat saya mengunjungi pesisir Desa Lasama Kecamatan Tiworo Kepulauan, Sabtu 20 Juli 2024. Daerah yang dulunya rimbun dengan hutan mangrove, sekarang berubah menjadi petakan tambak.
Sebelum Muna Barat mekar pada 2014 lalu, hutan mangrove di wilayah ini masih lestari. Seiring berjalan waktu, hutan mangrove ditumbangkan lalu dikonversi menjadi lahan pengelolaan udang.
Padahal, mangrove di wilayah ini telah menjadi habitat hidupnya berbagai spesies ikan dan kepiting yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
La Ode Lala (55), warga Desa Lasama mengaku, masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk berbagai keperluan. Seperti kayu bakar sesuai kebutuhan, bahan bangunan, dan hasil perikanan berupa ikan karang dan kepiting bakau. Selain itu, ekowisata mangrove juga menjadi sumber pendapatan bagi penduduk setempat.
Ia mengaku, dirinya sering turun untuk menangkap kepiting bakau di wilayah pesisir desa tersebut. Namun jumlahnya telah mengalami pengurangan dibandingkan jauh sebelum pembukaan petak tambak.
Ia mengaku, memiliki 33 unit bubu yang dipasang di sepanjang pesisir Desa Lasama. Dari 33 alat tangkap tersebut, dirinya menghasilkan sekilo hingga dua kilo kepiting. Setiap kilonya, sebut dia, kepiting dihargai Rp350 ribu.
Namun, penghasilannya itu belum dikurangi ongkos solar dan umpan yang kisarannya sampai Rp250 ribu. Sehingga, jika ia menaksir, penghasilannya per hari bisa sampai Rp150 ribu. Penghasilan yang diperolehnya ini disaat kondisi bakau sudah hancur parah di wilayah Lasama. Bagaimana bila masih banyak mangrove?
“Dulu kalau masih banyak mangrove, banyak hasilnya warga,” imbuhnya.
Menurut dia, bila kondisi mangrove terus tergerus dengan petakan tambak, maka bukan tidak mungkin kepiting bakau dan ikan karang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah tersebut. Bahkan, saat ini pencari kepiting berangsur-angsur beralih profesi meninggalkan kebiasaan memasang bubu kepiting bakau.
“Bagi kami penangkap kepiting bakau ini sangat bergantung pada hutang mangrove. Kita hidup di situ. Kalau mangrove dialihfungsikan, maka masyarakat kecil seperti kami ini juga akan setengah mati,” tutupnya.
Rusaknya ekosistem hutan mangrove di Muna Barat diakui oleh pemerintah daerah. Sebagian besar hutan mangrove di daerah tersebut, termasuk yang masuk dalam kategori dilindungi, telah beralih fungsi menjadi tambak.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna Barat, kurang lebih 6.343 hektare luas ekosistem hutan lindung yang mencakup beberapa jenis spesies mangrove.
Sementara luas tambak di Muna Barat mencapai sekitar 1.150 hektare, dan yang tidak masuk kawasan sekitar 100 hektare. Kebanyakan tambak-tambak tersebut tercetak sejak Muna Barat belum mekar.
“Itu yang terdaftar tapi masih banyak juga tambak ilegal yang masuk kawasan dan itu dicetak sebelum mekar Mubar. Itu dicetak langsung oleh masyarakat secara swadaya,” kata Kepala Bidang Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya, Subakti.
Menurutnya, masalah alih fungsi kawasan hutan mangrove ini juga bagaikan dua sisi mata uang. Di pihak lain ada potensi tambak yang harus dimaksimalkan,sementara di lain sisi masyarakat harus mengorbankan kelangsungan hidup hutan mangrove.
“Di Mubar ini kan punya potensi budidaya di pertambakan. Tapi harus di luar kawasan. Makanya kalau ada usulan itu kita koordinasikan dulu dengan kehutanan,” kata Subakti.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Mubar La Edi, mengaku, kerusakan kawasan hutan mangrove terjadi di hampir semua pesisir dengan kategori parah. Kerusakan ini terjadi akibat pengalihfungsian lahan dan penebangan kayu mangrove yang tak terkendali.
“Kerusakannya sudah mendekati angka 80 persen karena hampir semua hutan mangrove di Mubar itu sudah dijamah oleh masyarakat. Yang parah itu wilayah pesisir bagian Tiworo Raya, kalau wilayah Napano Kusambi sedikit bagus,” terangnya.
Menurut Pemerintah Desa Lasama, salah satu wilayah pesisir yang terdampak pengalihfungsian mangrove menjadi tambak terjadi di wilayah pesisir Desa Lasama, Kecamatan Tiworo Kepulauan. Hal itu terjadi sebelum mekarnya Mubar hingga tahun 2016 dan 2017. Akibat alih fungsi tersebut menyebabkan pengurangan luas dan kerapatan ekosistem mangrove.
“Kalau saat ini tidak ada lagi alih fungsi mangrove atau percetakan tambak baru di Lasama. Tidak ada izin. Kalau ditahu kita denda,” kata Kades Lasama, La Ode Balai.
Ia menyebut, saat ini pemilik tambak di wilayah Lasama sebanyak 47 orang. Mereka juga telah memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas lahan tambak tersebut sebanyak 320 hektare lebih.
“Izinnya itu keluar tahun 2022. Luasnya 320 hektare lebih, itu kita ajukan lebih untuk persiapan infrastruktur jalan wisata mangrove kedepannya,” jelasnya.
La Ode Balai juga mengaku bahwa selain aktivitas tambak, kerusakan mangrove juga disebabkan oleh pengambilan kayu yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Dulu memang marak terjadi tapi sekarang masyarakat Lasama sudah mulai sadar. Saat ini mereka ambil kayu yang sudah rubuh. Kalau yang masih tumbuh berdiri mereka tidak berani,” tuturnya.
Pengawasan Alih Fungsi Mangrove Tidak Maksimal
Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Muna Barat (Mubar) merupakan salah satu aset daerah yang terus tergerus oleh alih fungsi tambak. Kondisi ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat hutan mangrove bagi kehidupan manusia.
Selain itu, rusaknya kawasan hutan mangrove di Mubar juga akibat kurangnya peran pengawasan dari pihak pemerintah.
Kondisi ini juga diakui oleh kepala Dinas Lingkungan Hidup,Mubar, La Edi. Ia mengaku bahwa peran pemerintah dalam pengawasan hutan mangrove belum maksimal. Masalah ini terjadi karena persoalan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi.
Pemda Mubar, tidak punya kewenangan untuk membiayai pengawasan hutan mangrove karena masuk kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Sultra.
“Misalnya kita masukan program menekan alih fungsi itu, itu tidak bisa. Itu masalahnya, sehingga seolah-olah itu berjalan terus. Kalau misalnya kewenangan itu ada di Pemda, kita bisa godok aturan pengendaliannya, kemudian produk hukumnya. Tapikan lagi-lagi itu kewenangan Kehutanan Provinsi Sultra,” bebernya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan. Pihaknya juga tidak memiliki kewenangan untuk menindak oknum-oknum yang merambah kawasan mangrove.
“Kita hanya mengimbau saja,bahwa itu dilarang. Kalau penindakan itu kewenangan Kehutanan Provinsi Sultra,” ujarnya.
Namun, pengalihfungsian hutan mangrove menjadi tambak udang ini disambut “baik” oleh program pemerintah daerah untuk pengadaan bibit udang.
Salah satu petambak udang, Muhida Laila (60) mengaku, awal mula memiliki tambak di wilayah tersebut berawal dari pembagian Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Mubar. Ia mendapat bagian satu petak tambak.
Muhida membeberkan bahwa lahan tersebut diduga masuk kawasan, namun tempat percetakan tambak tidak memiliki kayu bakau.
“Saya lupa tahun berapa cetaknya, tapi sudah mekar Mubar. Dulu di sini itu kayu sanger. Tidak ada bakaunya. Kalau bakau di sebelah sana,” terangnya sambil menunjuk lokasi bakau tumbuh.
Muhida juga mengaku bahwa, dirinya tidak pernah dilarang oleh pemerintah setempat melakukan pencetakan tambak. Dia juga tidak tahu kalau wilayah kawasan itu dilarang untuk digarap.
“Saya tidak tahu, kalau dilarang tidak mungkin perintah memberikan ini (bibit udang) pada kita. Bahkan pemerintah juga yang bagikan bibit,” kata ibu 14 anak ini.
Ia menuturkan bahwa keluarganya tidak memiliki pekerjaan tetap selain menjadi petambak udang. Dengan tambak tersebut mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya.
“Tidak ada,hanya di tambak ini saja. Alhamdulillah saya juga bisa kasi sekolah anak-anak, dan saat ini mereka sudah bisa mandiri,” pungkasnya.
Upaya Akar Rumput Rehabilitasi Mangrove
Bila di atas tidak mampu mengambil kebijakan atas rusaknya ekosistem mangrove di Muna Barat, berbeda dengan masyarakat di akar rumput. Misalnya hal yang dilakukan oleh pemerintah dan warga Desa Lasama Kecamatan Tiworo Kepulauan.
Kades Lasama Laode Baali mengaku,penanaman mangrove dilakukan di Pulau Bone Balano dengan luas sekitar 25 hektare.
“Tahun 2020 kita menanam mangrove di Pulau Bone Balano. Luasnya sekitar 25 hektare dan masyarakat yang tanam langsung,” tuturnya.
Selain melakukan penanaman di Pulau Bone Balano, Pemdes Lasama juga telah menginstruksikan para pemilik tambak untuk terus melakukan penanaman mangrove di sekitar lahan tambak. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga ekosistem hutan mangrove di wilayah tersebut.
“Saat ini saya arahkan supaya mereka melakukan penanaman kembali di sekitar tambak dan ini sudah dilakukan,” klaimnya.
Sementara itu, Pemerintah Desa Kombikuno,Kecamatan Napano Kusambi turut melakukan yang sama. Kepala Desa, La Ode Musdin mengaku bahwa saat ini pihaknya telah memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat terkait manfaat hutan mangrove bagi kehidupan manusia.
Menurutnya hutan mangrove memiliki peran penting bagi masyarakat pesisir. Selain mencegah abrasi, mangrove juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat.
“Kalau hutan mangrove bagus, maka otomatis memberi manfaat bagi habitat lainnya. Seperti ikan, kepiting bakau dan lain-lain. Itu juga punya manfaat ekonomi bagi rakyat kita,” ujarnya.
Atas hal itu, Pemdes Kombikuno juga terus melakukan upaya reboisasi dengan melakukan penanaman mangrove di wilayah pesisir. Saat ini pihaknya bekerja sama dengan Yayasan Hutan Biru dengan menyediakan lahan seluas 8 hektare di wilayah pesisir untuk melakukan penanaman mangrove.
“Dulu pernah kita lakukan penanaman, tapi sebelum mekar Mubar. Saat ini kita akan lakukan penanaman lagi, kerja sama dengan Yayasan Hutan Biru,” katanya.
Musdin mengaku bahwa di desanya juga memiliki tambak, namun tambak-tambak tersebut merupakan hasil cetak yang sudah lama. Dari percetakan tambak itu juga tentu memberi efek negatif terhadap keberadaan hutan mangrove di wilayahnya.
“Kalau tambaknya memang sudah lama, luasnya sekitar 10 hektare lebih, tapi tidak masuk kawasan hutan mangrove. Saat ini Percetakan tambak kita larang, karena berdampak pada habitat mangrove di pesisir,” tutupnya.
Dampak Alih Fungsi Mangrove Terhadap Masyarakat Pesisir
Alih fungsi hutan mangrove memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat Mubar khususnya di wilayah pesisir.
Salah satu Pemerhati Lingkungan Wilayah Pesisir, Farid menyebut, alih fungsi mangrove di wilayah pesisir sangat berdampak pada masyarakat, mulai dari sisi ekonomi, keselamatan hingga sosial. Menurutnya, hutan mangrove dalam pandangan masyarakat di wilayah pesisir merupakan ekosistem, bukan biota (sekedar pohon/hutan).
“Artinya kalau berbicara ekosistem, ada hubungan saling membutuhkan antara satu makhluk hidup dengan makhluk hidup lain. Mulai dari ikan, kerang, kepiting dan makhluk hidup lain yang bernilai ekonomis di pasar,” katanya.
Ia melanjutkan, alih fungsi mangrove ini berdampak pada rusaknya fungsi ekosistem yang menyebabkan rantai ketergantungan tadi terputus. Mangrove yang rusak, sudah pasti ikannya tidak ada.
“Artinya pendapatan masyarakat itu otomatis akan berkurang kalau fungsi mangrove yang awalnya merupakan ekosistem pesisir sudah beralih,” kata Farid.
Selanjutnya, kata dia, mangrove dikenal pagar antara daratan dan lautan, dan pelindung alami pantai/pesisir. Bagi masyarakat yang tinggal atau bermukim di pesisir, hutan mangrove sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi ancaman gelombang laut pada waktu-waktu tertentu.
“Artinya, hutan mangrove juga menentukan keselamatan masyarakat di wilayah itu. Mangrove berperan sebagai benteng alami yang melindungi wilayah pesisir dari abrasi, gelombang, serta badai. Alih fungsi lahan mengakibatkan hilangnya imunitas alami ini, meningkatkan risiko kerusakan lebih lanjut,” tutur Farid.
Sementara, dampak alih fungsi hutan mangrove dari sisi sosial juga sangat rentan dengan konflik. Pasalnya, alih fungsi lahan mangrove yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah akan memancing pemikiran masyarakat tentang legalitas pada aktivitas penggunaan lahan/kawasan mangrove.
“Jika pemerintah/swasta dapat melakukan alih fungsi, mengapa masyarakat tidak boleh? Kasus selama ini sehingga masyarakat berani mendirikan rumah/bermukim di kawasan mangrove atas pemikiran bahwa mangrove itu bisa dialihfungsikan,” katanya.
Masih kata Farid, alih fungsi kawasan hutan mangrove memiliki dampak negatif pada wilayah pesisir. Berikut beberapa kerugian yang mungkin terjadi:
Sebaliknya, beber Farid, hutan mangrove ini memiliki manfaat menjaga lingkungan pesisir,menjaga keanekaragaman hayati, bermanfaat bagi kehidupan sosial ekonomi serta menjadi penyerap karbon.
Dari sisi pelestarian lingkungan, Hutan mangrove memiliki peran penting dalam mengurangi laju abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang laut atau arus air. Hal ini disebabkan karena sistem akar yang kuat dan padat, mampu menahan tanah di sekitarnya.
“Kondisi ini membantu melindungi garis pantai dari erosi yang dapat merusak infrastruktur pesisir dan pemukiman manusia,” kata Farid.
Hutan mangrove juga sangat berperan dalam menjaga keanekaragaman hayati, dimana keberadaan hutan mangrove akan menjadi rumah untuk tumbuh kembangnya habitat bagi berbagai spesies fauna dan flora.
“Mangrove juga merupakan tempat berkembang biak bagi ikan, udang, dan burung laut,” tuturnya.
Tidak kalah pentingnya, mangrove mengurangi gas karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, membantu mengatasi perubahan iklim. Jadi, hutan mangrove bukan hanya penting bagi lingkungan, tetapi juga bagi mata pencaharian dan ketahanan pesisir.
“Semakin kita memahami dan menjaga ekosistem ini, semakin besar manfaatnya bagi kita semua,” imbuhnya.
Menurut Farid, pernyataan pemerintah terkesan kontras jika melindungi mangrove, namun di sisi lain kerusakan terus dibiarkan tanpa adanya upaya koordinasi berkelanjutan. Apalagi, kerusakan yang terjadi karena iming-iming kesejahteraan ekonomi dan atas nama pembangunan.
“Jadi, jika alih fungsi mangrove merupakan sebuah bentuk pembangunan untuk memajukan suatu daerah, lantas kemajuan seperti apa yang mau dicapai dengan mengorbankan perekonomian/penghasilan, keselamatan, dan dampak sosial terhadap masyarakat. Seberapa besar keuntungan yang didapatkan jika dibandingkan dengan kerugian yang didapatkan oleh masyarakat dari segi ekonomi, sosial dan keselamatan. Oleh karena itu, penting untuk terus memperhatikan dan melestarikan ekosistem mangrove agar manfaatnya dapat berkelanjutan,” tutupnya. (Pialo/yat)