Take a fresh look at your lifestyle.

Banjir Lumpur Melanda, Walhi Desak Cabut Izin Tambang di Pulau Kabaena

214

Banjir lumpur kini telah melanda salah satu desa yang berada di Pulau Kabaena Kecamatan Kabaena Barat Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara pada Selasa, 26 Maret 2024 kemarin.

Air setinggi lutut dewasa, bercampur material tanah merah merendam sebagian besar rumah masyarakat di wilayah Desa Baliara usai diguyur hujan.

Kepala Desa (Kades) Baliara, Ancu mengatakan beberapa hari belakangan ini, sebagian besar wilayah di Kabupaten Bombana, termaksuk Desa Baliara terus diguyur hujan.

“Tempat wilayah banjir itu di rumpun Kabeana dan Bugis, akibat hujan yang turun kemarin,” kata dia saat dihubungi awak media.

Ancu menerangkan, sebelumnya di daerah tersebut kerap terjadi banjir, ketika memasuki musim penghujan. Namun air yang menggenang rumah-rumah warga masih relatif jernih, tidak keruh seperti saat ini.

“Bedanya hari ini, ketika banjir airnya keruh (bercampur lumpur). Itu memang kawasan dataran rendah, kemudian karena kebetulan hujan kemarin ditambah air pasang, sehingga airnya tidak langsung turun ke laut. Apalagi dia punya parit, saluran airnya juga tidak baik,” ujar Kades Baliara.

Terkait air banjir bercampur lumpur, ia menuturkan bahwa, salah satu faktor yakni adanya aktivitas tambang ore nikel, oleh perusahaan yang melakukan penambangan di Desa Baliara.

Namun untuk kasus ini, ada hal lain yang membuat air banjir menjadi keruh, karena ada penimbunan pemakaman yang tidak ditalud. Akhirnya tanah yang dibawa air hujan memperah keruh airnya.

Meskipun begitu, ia menyebut, pihak perusahaan sudah membangun cekdam sebagai penyaring air, agar tidak keruh sewaktu turun hujan. Kendati demikian, cekdam tersebut tak mampu menampung debit air, dan meluap turun ke bawah (perkampungan).

“Namun mungkin penyebabnya, adanya perusahaan (aktivitas tambang nikel) begitu,” jelas dia.

Ancu mengaku, sejak perusahaan tambang melakukan aktivitas, memang air laut di sepanjang garis pantai sudah keruh, dan itu telah berlangsung lama.

Sehingga, berbicara dampak, yang paling merasakan dampaknya rumpun Bajo yang tinggal atau mendiami pesisir Pantai Desa Baliara. Walupun dampaknya, tidak begitu signifikan, sebab rata-rata masyarakat Bajo yang berpofesi nelayan itu, wilayah tangkap ikannya jauh dari pemukiman mereka.

Paling, sebut dia, air laut keruh membuat jarak pandang masyarakat Bajo ketika turun menyelam menombak ikan tidak terlihat jelas.

“Salah satu penyebab air keruh juga, pernah masyarakat Bajo kena gatal-gatal, mungkin penyebabnya itu (air keruh campur lumpur), karena lumpur pasti ada pengaruhnya,” tuturnya.

Iklan oleh Google

Namun demikian, lanjut kades, pihak perusahaan sudah melakukan upaya mengantisipasi supaya tanah bekas galian tambang yang dibawa air hujan tidak langsung turun ke perkampungan, salah satunya dengan membuat cekdam.

Tetapi, cekdam tersebut tidak dapat menampung debit air terlalu banyak. Sehingga, saat turun hujan dengan intensitas tinggi, airnya meluap dan turun ke laut.

Kondisi ini pun, membuat masyarakat Bajo yang mendiami pesisir Pantai Desa Baliara pasrah menerima dampak, akibat aktivitas penambangan nikel.

Meski begitu, masyarakat berharap perusahaan memberikan kompensasi sebagai ganti pemukiman mereka tercemar, termasuk kompensasi dampak debu bagi masyarakat tinggal di daratan.

“Itu saja (kompensasi dampak) yang belum terealisasi. Tetapi secara umum, kehadiran perusahaan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat, dan banyak warga disini yang dipekerjakan, termaksuk CSR perusahaan juga selalu disalurkan dalam bentuk fisik,” tukasnya.

Sementara itu Direktur Walhi Sultra Andi Rahman mengatakan berdasarkan keterangan warga, luapan air muncul secara tiba-tiba setelah hujan reda dan langsung menggenangi sejumlah rumah warga Desa Baliara.

Warga menduga banjir lumpur tersebut terjadi, karena luapan air yang berasal dari tanggul penampungan perusahaan tambang nikel yang beroperasi selama ini.

Kata Direktur Walhi Sultra, saat ini ada dua perusahaan yang warga duga menjadi penyebab terjadinya banjir lumpur di desa, yaitu Perusahaan nikel PT. Timah Investasi Mineral dan PT. Trias Jaya Agung.

“Karena setelah banjir pihak perusahaan langsung mendatangi (warga) untuk mengecek keadaan rumah warga yang terdampak banjir,” kata Andi Rahman saat mendapatkan keterangan warga.

Menanggapi keterangan tersebut, WALHI Sultra mendesak Presiden segera memerintahkan menterinya untuk mencabut izin usaha pertambangan nikel yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Andi Rahman, keberadaan IUP nikel di Pulau Kabaena itu menyalahi aturan, karna masuk dalam kategori wilayah pulau-pulau kecil dengan luas daratan hanya sekitar 873 km².

Sehingga ia mendesak agar pemerintah harus segera menjalankan mandat UU pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (UU PWP3K) No.27 Tahun 2007 Jo No. 1 Tahun 2014, demi melindungi keberlanjutan dan kelestarian Kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Pemerintah harus segera pencabutan izin-izin pertambangan nikel yang ada di pulau-pulau kecil,” tekannya.

Pencabutan IUP ini, kata dia, turut dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan sebuah perusahaan nikel yang meminta kawasan pesisir dan pulau kecil boleh dijadikan wilayah pertambangan.

“Sehingga putusan MK harus menjadi dasar pemerintah untuk segera menghentikan pertambangan di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sultra,” pungkasnya. (Ahmad Odhe/yat)

ARTIKEL-ARTIKEL MENARIK NAWALAMEDIA.ID BISA DIAKSES VIA GOOGLE NEWS(GOOGLE BERITA) BERIKUT INI: LINK
Berlangganan Berita via Email
Berlangganan Berita via Email untuk Mendapatkan Semua Artikel Secara Gratis DIkirim ke Email Anda
Anda Dapat Berhenti Subscribe Kapanpun
Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan, ruas (*) wajib diisi