Take a fresh look at your lifestyle.

Cerita Ekosida dari Sultra: Perlawanan Mentawai Perlu Berkaca dari Pulau Wawonii dan Kabaena

45

Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat dalam ancaman ekosida. Pulau kecil ini terancam hancur, ruang hidup bakal hilang, bahkan biodiversitas bakal punah jika PT SPS, berhasil menginvasi wilayah itu.

Jika di Sipora masih berupa ancaman, sebaliknya di Sultra sudah merasakan tanda-tanda ekosida, seperti yang terjadi di Pulau Wawonii dan Kabaena. Kedua pulau kecil ini mengalami kerusakan lingkungan yang parah.

Krisis air bersih sudah terjadi di Wawonii. Mata pencarian nelayan hilang, bahkan penyakit mulai menyerang warga akibat aktivitas tambang nikel yang ugal-ugalan. Padahal, menurut UU PWP3K, Wawonii dan Kabaena merupakan pulau-pulau kecil yang tidak bisa ditambang. Namun, perusahaan dan pemerintah tak peduli.

Berdasarkan data Satya Bumi dan Walhi Sultra, area Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Kabaena telah mencakup sekitar 73% dari total luas pulau tersebut, yaitu sekitar 650 km² dari total 891 km². Angka ini menunjukkan sebagian besar wilayah pulau telah dialokasikan untuk puluhan izin perusahaan tambang nikel.

Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².

Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.

Masyarakat adat suku Bajau yang menggantungkan hidup pada laut dan komunitas suku Moronene di Pulau Kabaena yang bergantung pada tanah, kini kehidupannya terancam.

Dengan luas 715 km persegi, Wawonii merupakan kecil yang seluruh garis pantainya langsung berbatasan dengan laut dalam. PT Gema Kreasi Perdana mengantongi dua izin usaha pertambangan nikel dengan konsesi seluas 1.800 hektare lebih.

Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi nikel di wilayah ini telah memicu protes besar dari warga sejak 2019, karena merusak kebun pala, sumber air, dan merampas lahan perkebunan masyarakat.

Perlawanan masyarakat melahirkan 4 putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Putusan MA soal pembatalan penggunaan kawasan hutan membuat PT GKP menghentikan aktivitasnya dan seluruh alat beratnya diangkut keluar dari pulau tersebut.

Namun, PT GKP meninggalkan jejak deforestasi seluas 200 hektare tanpa adanya reklamasi menjadi bom waktu bencana ekologis bagi masyarakat Pulau Wawonii. Belum lagi pertanggungjawaban hukum sebagai konsekuensi kerusakan dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan.

Cerita itu terungkap dalam diseminasi hasil liputan investigasi kolaborasi bertajuk “Menyelamatkan Mentawai dari Keserakahan” yang digelar masyarakat Jurnalis Lingkungan (SIEJ) Simpul Sulawesi Tenggara, di Tomoro Coffee Minggu (28/9/9/2025).

Diskusi yang diawali nonton bareng ini dipandu Jurnalis CNN Indonesia TV yang juga merupakan anggota SIEJ Simpul Sultra, Zainal A Ishaq. Pemantik dalam diskusi ini yakni Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman, Jurnalis Ekuatorial Febriyanti, Akademisi Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Sahrina Safiuddin dan jurnalis lokal Kabarkendari, Randi Ardiansyah.

Diskusi ini diikuiti sejumlah jurnalis lingkungan di Kendari, Pers Mahasiswa, praktisi hukum serta beberapa warga.

Jurnalis Ekuatorial, Febriyanti menyebut, Kepulauan Mentawai sebagai Galapagos Asia karena memiliki kekayaan keragaman hayati, satwa endemik, sejumlah primata di antaranya.

Namun, satwa endemik itu perlahan berkurang karena aktivitas perburuan dan bahkan terancam punah dengan penebangan pohon jika PT SPS benar-benar melakukan eksploitasi di Pulau Sipora Mentawai.

“Padahal kita tahu, salah satu primata di Sipora merupakan bagian dari 25 primata yang terancam punah. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu perhatian dan perlawanan dari semua elemen masyarakat, masyarakat sipil dan kolaborasi para jurnalis,” ujarnya.

Febriyanti juga menyayangkan keberpihakan pemerintah kepada perusahaan. Katanya, pemerintahan mengabaikan keresahan masyarakat yang akan merasakan dampak langsung dari aktivitas PT SPS ini.

“Pemerintah bukan justru melindungi pulau dan menyelamatkan seluruh makhluk di atasnya, melainkan parahnya menerbitkan izin baru untuk perusahaan ini,” jelas Febriyanti.

Zainal Ishaq, Jurnalis CNN Indonesia TV, yang juga merupakan warga Pulau Kabaena menyebut, jika di Pulau Sipora, perusahaan hanya mengambil di atas tanahnya.

“Kalau di Sultra di bawah tanah pun ditambang, diambil dibawa keluar. Sultra ini jadi pelumas politik nasional di Jakarta,” ungkap Zainal Ishaq.

Iklan oleh Google

Zainal bilang, kerusakan parah yang terjadi di beberapa daerah di Sultra seperti di Marombo, Konawe Utara Kabaena Bombana, serta Pulau Wawonii disebabkan industri ekstraktif yang masif merusak lingkungan.

Di Marombo ataupun di Pulau Kabaena, masyarakat suku Bajau sudah kehilangan tradisi turun temurun seperti memancing dan menyelam. Sebab, air lautnya keruh ditutupi sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas tambang.

“Kalaupun memancing di tempat lebih jauh, biayanya mahal. Mereka tidak bisa lagi memancing, beralih jadi papalele, kumpul-kumpul ikan dari nelayan lain lalu dijual kembali untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Di Pulau Kabaena, perjuangan keras mengusir perusahaan tambang pernah dilakukan. Namun, karena pendekatan perusahaan, sehingga warga balik mendukung.

“Tidak ada orang yang berani tangkap polisi, kecuali waga Kabaena, sampai 10 orang warga dipenjara, jauh sebelum orang Wawonii dipenjara,” beber Zainal.

Namun, orang-orang yang pernah dipenjara itu berbalik menjadi pelaku dan pemain tambang. Bahkan, salah satunya kepala desa. Padahal kades tersebut adalah orang yang paling melawan.

“Dia yang berani demo mati-matian, bayangkan kampungnya jauh, sampai dia datang demo di kampung saya. Sehormat-hormatnya dia melawan, tapi dia sekarang yang paling mendukung tambang. Begitu pula proses perlawanan di Wawonii. Orang-orang yang melawan perlahan direkrut lalu dibenturkan ke sesama mereka,” kata Zainal.

Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman mengungkap hasil penelitian bersama Satya Bumi di Pulau Kabaena. Ia menyebut, anak-anak di Pulau Kabaena sudah terkontaminasi kandungan nikel di tubuh mereka yang ditemukan dalam urin.

“Kandungan nikel itu berasal dari air dan ikan yang mereka konsumsi. Jadi, sudah sejarah itu kerusakannya. Bahwa, di Sipora baru bicara ancaman, di Sultra sudah merasakan kerusakan ekologis,” ucap Andi.

Kendati demikian, ia memuji kesadaran yang ditunjukkan oleh masyarakat adat, pemerintah desa, dan masyarakat di Pulau Sipora yang sudah berbicara terkait ancaman eksploitasi hutan.

Menurutnya, konsistensi itu harus dirawat dan dijaga agar tidak tergoda propaganda perusahaan dengan iming-iming kesejahteraan serta lapangan kerja, sebagaimana yang terjadi di Pulau Wawonii.

Andi bilang, di Pulau Wawonii, akibat pendekatan dengan politik pecah belah perusahaan, warga yang awalnya menolak keras masuknya tambang jadi pendukung bahkan provokator.

Bahkan, kondisi seperti ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah dengan dalih pembangunan dan ekonomi sehingga membuat pena kebijakan dan memberikan izin kepada perusahaan tambang dan RTRW. Padahal jelas-jelas, UU PWP3K melarang adanya aktivitas tambang di Pulau Wawonii.

Andi mengkritisi arah kebijakan pemerintah yang salah kaprah bahkan keliru, karena terlalu mengandalkan industri ekstraktif yang merupakan ekonomi semu dan hanya dinikmati segelintir kelompok.

“Tidak ada daerah yang kaya karena tambang. Yang ada hanya, pelanggaran HAM naik dan kemiskinan meningkat. Kalau pemerintah berpikirnya ekonomi berkelanjutan, lau di jaga, pertanian dirawat, saya yakin ekonominya meningkat dan anak cucunya akan menikmati,” tegasnya.

Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sahrina Safiuddin melihat situasi di Pulau Sipora dan beberapa daerah di Indonesia di Sultra karena memang disediakan oleh konstitusi.

“Dalam konstitusi di negara kita, hukum mengatur dua hal, yakni sebagai instrumen hak asasi manusia di pasal 28 D terkait atas lingkungan hidup yang baik. Tetapi di pasal yang lain, konstitusi juga sebagai instrumen ekonomi. Dalam perkembangannya, malah ketika revisi UUD 1945, padal 33 itu juga secara semangatnya bernuansa ekonomi liberal yang semuanya tergantung pada pasar,” ujarnya.

Begitu pula turunannya. Seperi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, oleh pembentuk perundang-undangan dimaksudkan untuk sebagai beleid pilot.

Artinya, Sahrina bilang, bahwa sebagai UU lex generalis, UU di bawahnya yang bersifat sektoral harusnya merujuk ke situ. Seperti UU Kehutanan, Minerba dan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Tapi yang terjadi, membentuk sistemnya sendiri, sehingga ada persoalan benturan norma. Ujungnya nanti ketika berharap kepada penegakan hukum tidak seperti yang kita inginkan. Diperparah dengan lahirnya UU Cipta Kerja,” ucapnya.

Sahrina mencontohkan, seperti di UU PPLH diatur tentang anti Slap, melindungi warga negara yang memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat. Tetapi di UU minerba diatur secara akontrario.

“Di UU PPLH disebutkan orang yang memperjuangkan lingkungan hidupnya tidak boleh dipidana. Di UU minerba yang baru, siapa yang menghalangi aktivitas pertambangan bisa dipidana. Jadi secara norma sudah berbenturan. Akhirnya penegakan hukum bukan lagi soal keadilan, kemanfaatan tapi pada political wil,” tandasnya. (Ahmad Odhe/yat)

ARTIKEL-ARTIKEL MENARIK NAWALAMEDIA.ID BISA DIAKSES VIA GOOGLE NEWS(GOOGLE BERITA) BERIKUT INI: LINK
Berlangganan Berita via Email
Berlangganan Berita via Email untuk Mendapatkan Semua Artikel Secara Gratis DIkirim ke Email Anda
Anda Dapat Berhenti Subscribe Kapanpun
Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan, ruas (*) wajib diisi