Master Chef La Ode : Makanan Lokal Harus Menginternasional
Temanku begitu serius membuka setiap lembaran buku menu sebuah restoran mewah. Semua jenis makanan berbahasa Inggris. Lalu, matanya mentok di salah satu gambar yang bertuliskan Pizza. Lengkapnya, Pizza al Tagilo, makanan orang Italia.
“Sepertinya ini cocok,” singkatnya.
Sebagai pelengkapnya, ia memesan minuman dingin Koffie Verkeed. Dari bahasanya, ini berasal dari Belanda.
Mencicipi Pizza, merupakan sejarah buatnya. Ibarat perjumpaan pertama lambungnya dengan makanan ala Eropa. Selama ini di kampung, menikmati kue terang bulan merupakan keistimewaan.
Rasa lapar akibat hujan yang mengguyur ibu kota bikin ia lupa rasa Pizza yang asing bagi lidah dan lambungya. Ia makan dengan lahap. Koffie Verkeed nyaris tandas.
Belum masuk sejam selepas makan, ia merasakan seperti ada masalah di perutnya. Ia lalu bergegas ke kamar kecil untuk segera “menabung”.
“Sepertinya tidak cocok kita makan begini e…” katanya usai dari kamar kecil.
Pengalaman teman ini hanya sebatas pembuka dari ketertarikan saya usai menonton siaran televisi swasta bakda Isya tadi.
Saya sebenarnya lagi sibuk mengetik tugas. Namun istri saya memanggil bahwa ada satu kampungnya dari Watopute masuk televisi. Ikut Program Master Chef.
Saya pun sempat berujar : Perasaan di Watopute itu banyak saguer. Ada juga kah jago masaknya?
Istri saya memperbesar volume televisi. Telinga saya terusik dengan logat lelaki yang berbicara di televisi itu. Benar, logatnya orang Dana.
Saya kemudian ikut nimbrung duduk di samping Sky yang sibuk cubit bibinya. Mata saya mulai berkaca ketika mendengar sepintas cerita Foel La Ode . Seorang anak kampung yang mencoba peruntungan di tanah rantau. Lelaki gondrong, berkulit coklat yang “buang diri” di tanah Jawa hanya untuk meraih cita-citanya. Lebih dari itu, hal yang dilakukan terbilang nekat itu adalah untuk membahagiakan ibunya setelah ayahnya meninggal sejak ia masih kecil.
Soal perjalanan hidupnya itu saya abaikan dulu.Sebab, banyak orang di Muna mengalami hal yang sama dengan dirinya.
Bedanya, semangatnya memilih jadi tukang masak. Lazimnya bagi orang Muna, memasak itu bukan cita-cita, tapi kewajiban. Tidak memasak, mati kelaparan.
Masuknya ia di program master chef ini juga bikin mamanya bingung. Cerita Foel ini bikin saya tertawa terbahak-bahak.
Dari beberapa seri master chef yang diputar di televisi swasta RCTI, kebanyakan mengangkat jenis makanan ala barat. Hal ini yang bikin saya tidak tertarik.
Tapi, setelah Foel La Ode menjelaskan jenis masakan yang dibuatkannya untuk ketiga juri adalah masakan kampung, saya mulai tertarik untuk lama menonton.
Beras merah dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar. Lauknya, ikan cakalang dimasak seadanya. Ikan jenis ini paling murah mi kalau di sini. Kemudian, sambal terasi dan dilengkapi acar nenas yang banyak tumbuh liar di kampung. Hiasannya menurut Foel, Lalapan. Eh ternyata daun kemangi. Saya langsung ingat sari laut di depan Mandala Waluya Kendari. Yang menjual orang Muna, tapi dipanggil mas.
Ya Tuhan. Saya mengumpat agung bukan karena ngiler tapi makanan kampung dipamerkan kepada tiga chef yang punya restoran di luar negeri.
Apa yang disampaikan Foel ini menurut saya bisa mewakili lidah orang Indonesia. Menginternasionalkan makanan lokal kita Indonesia.
Indonesia punya kekayaan rempah-rempah dan makanan tak kalah sedapnya dengan hidangan orang Barat.
Dalam sebuah pertemuan singkat di kampungnya, La Ode mengaku ingin makanan lokal tidak dipandang sebelah mata.
“Makanan lokal harus menginternasional,” katanya.
Menurut La Ode cita rasa makanan lokal tak kalah sedapnya. Rempah-rempah Indonesia telah dikenal sejak dulu yang membuat negara-negara kolonial Barat menuju ke Timur untuk berebut tumbuhan berkualitas tinggi itu.
Dari berbagai catatan sejarah, rempah-rempah ini menjadi salah satu yang bikin negara kolonialis ingin menguasai Indonesia, selain ekspansi wilayah jajahan.
Setelah dikuasai, rempah-rempah ini kemudian dibawa ke Eropa dan dijadikan bumbu masakan orang-orang barat.