La Ode Pomusu, Maestro Layang-layang Ubi Hutan di Muna
Di usia yang sudah beranjak senja, tak ada lagi generasi yang bisa meneruskan tangan dingin La Ode Pomusu menciptakan layang-layang yang bernilai sejarah.
Deretan prestasi yang pernah tercatat di World Guinnes Book, terancam berakhir seiring dengan usia tua La Ode Pomusu.
Layang-layang yang terbuat dari daun ubi hutan, berpotensi hilang dari catatan sejarah. Sebab, La Ode Pomusu adalah satu dari ribuan warga Muna yang masih mempertahankan identitas kaghati (layang-layang).
La Ode Pomusu mengisahkan, konon layang-layang yang disebut tertua di dunia ini, pertama kali dibuat oleh La Pasinda di sekitar Gua Liangkabori.
“Waktu itu belum ada api masih makan daging mentah,” kisah La Ode Pomusu kepada Kabarkendari.com beberapa waktu lalu.
Pria berperawakan tinggi besar ini mengaku, pertama kali belajar membuat layang-layang dari orang tuanya, La Ode Nsihaka. Bapaknya sendiri belajar dari kakeknya.
“Ini turun temurun diajarkan. Pada Tahun 1954 saya sudah mulai pintar buat layang-layang kecil. Pada 1967 saya sempat berhenti,” ungkapnya.
Tidak lama berhenti, Pomusu kembali aktif membuat layang-layang setelah adanya kejuaraan tingkat nasional maupun internasional. Dia pertama kali mengikuti lomba di Jakarta pada 2005 silam dan menjadi yang terbaik dari ratusan peserta.
Di tingkat internasional, Pomusu juga mencatatkan namanya sebagai peserta terbaik. Pertama kali, dia ikut kejuaraan di Perancis pada 1995 silam.
“Saya dapat juara karena tali layang-layang saya terbuat dari nenas hutan. Saya juga jadi juara di Italia pada 2009,” bebernya.
Setiap ada kejuaraan, La Ode Pomusu terus mencatatkan rekor. Bahkan, layangannya yang terbuat unik itu, dinyatakan oleh Guinness Book sebagai layang-layang terlebar dan terbesar di dunia.
Iklan oleh Google
“Ukuran tingginya sampai lima meter dan lebarnya tiga meter. Setiap kejuaraan pasti juara terus,” paparnya.
Dia memperkirakan, selama keikutsertaannya di kejuaraan layang-layang, sudah 10 medali juara satu yang disabetnya.
“Kapan diundang juara. Layang-layang saya kapan naik langsung tegak. Tiga jam terbang belum turun padahal Tempo yang diberikan hanya 20 menit. Kalau layang-layang peserta lain, kadang tidak bisa terbang dan cepat turun,” kata Pomusu sesumbar.
“Untuk menghasilkan layangan yang bisa bertahan lama di udara, sayapnya harus dibuat seimbang,” tambahnya.
Seluruh bahan layang-layang yang dibuatnya berasal dari hutan. Mulai dari sayap, batang, hingga talinya. Sehingga, layangannya ini, bisa bertahan hingga 50 tahun kemudian.
Sayapnya, dibuat dari anyaman bambu dan ujungnya diraut agar bisa membentuk sayap bengkok.
Rangka layangannya berasal dari bambu beruas panjang atau dalam bahasa Munanya Wulu.
Penutup badan layangan, berasal dari daun ubi hutan atau kolope dalam bahasa Muna. Sebelum dipasang, daun terlebih dikeringkan dengan cara diasapi selama satu minggu.
Bila sudah selesai, maka daun dianyam atau disatukan dengan cara dijahit menggunakan tali dari kulit pohon khusus.
“Namanya jaring laba-laba atau Obhontu,” paparnya.
Sedangkan talinya, terbuat dari daun nanas hutan. Untuk menganyam tali sepanjang 2 ribu meter, dibutuhkan waktu sampai satu bulan.
“Kalau saya buat sendiri. Teman-teman yang lain beli,” jelasnya.
Tidak hanya itu, untuk memperindah dan membuat suaranya merdu, Pomusu mendesain layangannya dengan pita yang terbuat dari rotan untuk menambah bunyi suara saat terbang di udara.
“Tidak ada yang pintar buat kamuu (pita). Kamuu ini terbuat dari rotan dan bunyinya nyaring kalau sudah jam 12 malam. Suaranya sama seperti kapal karena dikena embun,” jelasnya.
Kini, tinggal La Ode Pomusu yang tahu tentang pembuatan layangan ini. Tidak ada generasi pelanjut untuk mempertahankan salah satu budaya yang paling tua di dunia ini.
“Anak saya ada yang belajar tapi tidak menekuninya,” pungkasnya.
Catatan ini pernah naik di blog Satulisaja