Sebuah ijazah Paket C yang diterbitkan sekitar 15 tahun silam kini menyeret anggota DPRD Kota Kendari terpilih, La Ami, ke kursi pengadilan. Kasus ini memantik perhatian publik lantaran diduga kental dengan aroma kriminalisasi akibat carut-marut pendataan pendidikan nonformal di masa lalu.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kendari, tim penasihat hukum terdakwa membeberkan sejumlah fakta yang mengarah pada kesimpulan bahwa kliennya adalah korban kegagalan sistem administrasi, bukan pelaku tindak pidana pemalsuan dokumen.
Berdasarkan fakta persidangan, La Ami mengikuti ujian Paket C pada 2008 melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Ilmu Wawesa di Kabupaten Muna. Sejumlah saksi kunci, yakni Laode Tamulu, Rahman, dan Nurlian, memberikan keterangan yang saling menguatkan.
Para saksi menyatakan bahwa La Ami telah mengikuti seluruh prosedur yang berlaku pada masa itu. Ia menyerahkan fotokopi ijazah SMP dan pasfoto, menerima kartu peserta ujian, serta mengikuti ujian selama empat hari berturut-turut yang dilaksanakan di SMEA Raha.
“Terdakwa mengikuti seluruh rangkaian proses. Ia duduk berdampingan dengan saksi Laode Tamulu saat ujian, menandatangani ijazah, hingga melakukan sidik jari setelah dinyatakan lulus,” ujar penasihat hukum La Ami, Suparno Tammar, kepada media, pada Jumat, 19 Desember 2025.
Persoalan baru muncul sekitar 15 tahun kemudian, ketika La Ami mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Data pada Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) menunjukkan bahwa nomor ijazah tersebut tidak terdaftar atas nama La Ami, melainkan atas nama seseorang bernama La Ara.
Inti sengketa hukum ini terletak pada penafsiran Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai ijazah tersebut palsu karena tidak tercatat dalam basis data pusat.
Iklan oleh Google
Namun, tim pembela menghadirkan argumen yuridis berdasarkan keterangan ahli pidana, Chaerul Huda.
Ahli menegaskan bahwa sepanjang ijazah diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat berwenang, maka dokumen tersebut merupakan ijazah asli. Ketidaksesuaian data dalam basis data pusat dikategorikan sebagai cacat administrasi, bukan perbuatan pemalsuan.
“Sangat tidak relevan apabila kesalahan input data oleh penyelenggara pendidikan atau dinas terkait pada masa lalu harus dibebankan secara pidana kepada peserta didik. Kewajiban pelaporan ke basis data pusat merupakan tanggung jawab penyelenggara, bukan siswa,” tegas tim penasihat hukum.
Nuansa politis dalam perkara ini juga mencuat dalam persidangan. Terungkap bahwa data pribadi La Ami diduga disebarkan oleh seorang oknum mantan komisioner KPU kepada pihak pelapor setelah La Ami meraih suara signifikan dalam pemilu, yakni 2.653 suara.
Keanehan lainnya, meskipun JPU menuding ijazah tersebut milik La Ara, sosok yang bersangkutan tidak pernah dihadirkan di persidangan. Tidak ada ijazah pembanding atas nama La Ara, dan tidak dilakukan uji laboratorium forensik terhadap tanda tangan maupun hologram ijazah yang dipersoalkan.
“Pembuktian dalam hukum pidana harus lebih terang dari cahaya (in criminalibus probationes debent esse luce clariores). Tanpa uji forensik dan tanpa kehadiran pihak yang dirugikan, dakwaan ini berdiri di atas dasar yang rapuh,” ujar kuasa hukum.
Kini, nasib La Ami berada di tangan Majelis Hakim PN Kendari. Tim pembela menekankan penerapan asas ultimum remedium, bahwa hukum pidana seharusnya menjadi upaya terakhir. Terlebih, perkara ini sebelumnya telah diperiksa oleh Sentra Gakkumdu yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu, serta dinyatakan tidak memenuhi unsur tindak pidana pemilu.
Penasihat hukum menutup pembelaannya dengan permohonan agar majelis hakim memandang perkara ini secara objektif sebagai persoalan administrasi yang dipaksakan masuk ke ranah pidana demi kepentingan tertentu. (Ahmad Odhe/yat)