Kejati Sultra Tetapkan Tiga Tersangka Korupsi Pembebasan Lahan Jalan Kendari-Toronipa
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka korupsi pembebasan lahan pembangunan jalan wisata Kendari-Toronipa.
Tersangka pertama adalah Sulman. Ia merupakan Lurah Toronipa pada 2019. Saat ini menjabat Sekretaris Camat Toronipa.
Tersangka kedua adalah Milwan. Ia merupakan pegawai negeri sipil (PNS) yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) SMP Negeri 9 Kota Kendari.
Tersangka ketiga adalah Andi Zaenuddin, seorang tenaga honorer di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Asisten Intelijen Kejati Sultra, Noeradi menjelaskan, ketiga tersangka ini punya peran penting dalam perkara hilangnya aset milik UHO Kendari yang dibebaskan dalam pembangunan jalan Kendari-Toronipa.
“Ketiga tersangka melanggar ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 serta perubahannya. Bahwa akibat perbuatan para tersangka tersebut negara mengalami kerugian negara dan terhadap para tersangka dikenakan UU Tipikor UU 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dijerat dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3,” ujar Asisten Intelijen Kejati Sultra, Noeradi dalam keterangannya, Senin 17 Januari 2022.
Sementara itu, Koordinator Jaksa Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Sultra, Marolop Pandingan menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan pihak UHO Kendari atas hilangnya aset mereka di Kecamatan Toronipa.
Pada 1997, UHO Kendari membeli tanah seluas 4.892 meter persegi dari Yappe dan Mustamin Callo. Keduanya merupakan ayah dan paman tersangka Andi Zaenuddin.
Setelah membeli tanah tersebut, pihak UHO membangun laboratorium lapangan dan pembibitan ikan.
Pada 2019, hadir proyek pembangunan jalan Kendari-Toronipa yang berimbas pada pembebasan lahan. Tersangka Andi Zaenuddin mengklaim bahwa obyek tersebut sebagai tanah miliknya.
Klaimnya dengan cara memanipulasi surat atau dokumen kepemilikan tanah tersebut dengan modus seolah-olah pada tahun 2001 UHO Kendari telah mengembalikan tanah tersebut kepada yang bersangkutan. Belakangan, hal itu dibantah oleh pihak UHO Kendari.
Dokumen yang dimanipulasi ini kemudian didukung oleh tersangka Sulman selaku lurah dan tersangka Milwan selaku saksi bahwa tanah tersebut milik Andi Zaenuddin. Atas hal itu kemudian lurah menerbitkan surat keterangan penguasaan fisik atas nama Andi Zaenuddin.
Dokumen yang dipalsukan ini kemudian dijadikan dasar untuk menerima pembayaran ganti rugi sebagian tanah tersebut oleh Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sulawesi Tenggara.
“Padahal itu seharusnya tidak perlu terjadi karena tanah UHO tersebut berstatus barang milik negara (BMN). Kalau pun ganti rugi, harusnya UHO yang menerima,” bebernya.
Iklan oleh Google
Marolop melanjutkan, sebanyak Rp127 juta diterima oleh Andi Zaenuddin dari pembebasan lahan oleh Pemprov Sultra.
Kemudian, sisa tanah seluas 3.300 meter persegi dijual Andi Zaenuddin kepada Milwan Rp100 juta. Total Andi mengantongi Rp227 juta dari harga tanah hasil pemalsuan dokumen tersebut.
Setelah berhasil membeli tanah tersebut, Milwan dibantu tersangka Sulman menjual kembali tanah tersebut kepada istri Gubernur Sultra Ali Mazi, Agista Ariani Bombay (almarhum) kurang lebih Rp750 juta.
Anehnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe menerbitkan sertifikat hak milik tanah tersebut atas nama Agista.
“Di atas tanah tersebut telah terbit Sertifikat Hak Milik atas nama Saudari Agista sesuai dengan keterangan pihak BPN Kabupaten Konawe,” kata Asintel Kejati Sultra Noeradi.
Noeradi menuturkan, pihaknya sudah pernah meminta keterangan Agista dalam perkara ini sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Bidik Tersangka Lain
Marolop menyebut, ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan saksi dan dokumen yang telah disita Kejati Sultra. Tidak menutup kemungkinan, akan ada tersangka lain yang dimintai pertanggungjawaban dalam hal pembebasan lahan yang tidak benar.
“Nanti masih ada pihak-pihak lain yang harus bertanggung jawab terutama terkait dengan pembayaran Rp127 juta tadi dari pihak Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Provinsi Sultra,” kata Marolop.
Berangkat dari kasus ini, menurut Marolop, pihak Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Provinsi Sultra diduga melakukan pembebasan lahan pada 2019 tidak sesuai dengan ketentuan.
Seharusnya, kata dia, pengadaan tanah dengan luas lebih dari lima hektare, harusnya dilakukan oleh BPN Sultra. Terlebih, pembangunan jalan wisata Kendari-Toronipa menggunakan dana APBN yang membutuhkan lahan untuk dibebaskan kurang lebih 40 hektare.
Selain itu, peralihan hak atas tanah tersebut tidak melalui prosedur UU Nomor 22 Tahun 2017 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2017 pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Seluruh beleid yang jelas itu, kata dia, malah diabaikan oleh panitia pembebasan lahan sehingga dokumen manipulatif dari ketiga tersangka berhasil diloloskan tanpa verifikasi yang akurat.
“Negara yang seharusnya tidak membayar, malah jadi membayar,” pungkasnya.
Atas hal tersebut, ketiga tersangka dijerat dengan pasal 2 dan pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana paling singkat empat tahun penjara. (aha/yat)