Belajar dari Bencana Daerah Tetangga lalu Perkuat Mitigasi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga minggu keempat Januari 2021 sudah 185 bencana melanda Indonesia.
Bencana itu berupa tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, gelombang pasang dan puting beliung.
Bagi saya, ada dua kriteria bencana. Yaitu, fenomena alam dan bencana alam yang diakibatkan manusia.
Gempa bumi dan gunung meletus merupakan fenomena alam. Sebab, tidak ada perkiraan pasti kapan gempa dan gunung meletus terjadi. Khusus gunung meletus memiliki ciri khas tersendiri. Meningkatnya gempa tremor hingga erupsi dan munculnya lava pijar sebagai penandanya.
Sementara gempa bumi, tak bisa diprediksi namun potensinya sudah diketahui sejak awal lewat berbagai riset pengetahuan berupa adanya sesar atau pun lempeng yang mengelilingi Indonesia.
Data BMKG, Indonesia terdapat 295 sesar aktif. Di Sulawesi Tenggara sendiri terdapat enam sesar aktif.
Lebih dahsyat lagi, wilayah Indonesia terletak di antara ring of fire atau cincin api pertemuan berbagai lempeng benua. Berdasarkan buku Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN) 2017, ada 16 segmen megathrust yang mengelilingi Bumi Pertiwi.
Sebuah potensi bencana besar yang sejatinya telah ada dan mungkin di depan mata.
Sementara bencana alam disebabkan manusia adalah banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang tinggi atau pun kekeringan.
Banjir dan tanah longsor sukar melepas penyebabnya akibat ulah manusia. Begitu pula dengan intensitas hujan yang tinggi.
Pembukaan lahan secara masif tidak hanya memicu gundulnya hutan dan hilangnya daerah resapan. Tetapi lebih dari itu memicu perubahan iklim dan tidak menentunya cuaca. Bila dulu kita mengenal ada musim hujan dan musim panas di waktu tertentu, sekarang musim itu tak bisa diprediksi lagi. Kadang di bagian barat sudah banjir, di timur dilanda kekeringan. Ini semua akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim ini juga memicu cuaca lebih ekstrem, baik panas maupun hujan. Akibatnya, kabut asap kala terjadi kekeringan dan banjir bandang saat musim hujan.
Perubahan iklim juga memicu terjadinya bencana puting beliung, tingginya gelombang di lautan dan longsor di pemukiman warga.
Mitigasi
Potensi bencana baik akibat fenomena alam atau pun bencana alam (ulah manusia), harusnya seiring dengan pengetahuan mitigasi bencana.
Pihak yang harus lebih berperan adalah pemerintah. Evaluasi mesti harus dilakukan segera.
Setiap daerah punya cerita rakyat mengenai wilayah mana saja yang rawan bencana atau pun mengidentikan bencana itu dalam bahasa ibu-nya. Misal di Muna, gempa bumi itu disebut Luali.
Cerita para tetua dulu, ketika Luali (gempa) terjadi, warga berlarian keluar rumah menuju tanah lapang, menghindari bangunan dan pepohonan.
Muna dan Buton terdapat dua sesar gempa bumi. Segmen Buton A dan Segmen Buton B. Kedua sesar ini aktif. Saya pernah merasakan getaran gempa saat masih kecil.
Cerita lainnya adalah soal infrastruktur bangunan. Di zaman dulu, rumah orang Muna mayoritas panggung yang berbahan kayu.
Ada makna filosofi kenapa harus rumah panggung. Pertama, hutan di Muna masih kategori ‘perawan’. Masih banyak pohon dan hewan liar. Rumah panggung diyakini bisa menghindarkan diri dari terkaman hewan buas.
Selain itu, rumah dengan berbahan kayu lebih fleksibel ketika terjadi guncangan gempa. Tidak seperti bangunan beton saat rubuh langsung mengancam keselamatan.
Cerita rakyat tentang fenomena alam dan infrastruktur rumah adat di Muna ini bisa jadi hampir sama dengan sejumlah daerah lain di Sultra, atau pun Indonesia.
Harusnya menjadi buku pengetahuan, minimal tidak menjadi sumber kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana dari sisi budaya suatu daerah.