Ahli Masyarakat Wawonii Tegaskan Pulau-pulau Kecil Bukan untuk Tambang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kembali menggelar sidang perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023, Uji Materiil UU Nomor 27 tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) pada Selasa, 5 Desember 2023.
Pengaju judicial review UU PWP3K adalah perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Uji materi yang diajukan perusahaan menyoal pasal 35 huruf k dan Pasal 23 ayat (2) mengatur larangan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Agenda pada Sidang MK tersebut mendengar Keterangan DPR dan Ahli dari Pihak Terkait yakni Idris, dan 28 orang masyarakat Wawonii, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB Prof Dr Ir Rilus A Kinseng MA dan, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Dr Charles Simabura.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Pihak terkait lainnya, yakni KIARA dan WALHI yang merupakan anggota KORAL, JATAM dan masyarakat. Sidang MK tersebut juga dihadiri oleh pemohon yakni PT. GKP, Perwakilan Pemerintah a.l. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemenkumham.
Dalam kesempatan itu, ahli dari masyarakat Wawonii Prof. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA menyampaikan Pasal 35 huruf k dan Pasal 23 Ayat 2 UU PWP3K diperlukan untuk melindungi kontrol dan akses masyarakat pesisir dan nelayan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Keberadaan pulau-pulau kecil punya arti penting sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat petani/nelayan yang tinggal di dalamnya.
Tapi sangat disayangkan, pada kenyataannya, masyarakat pesisir dan nelayan masih berhadapan dengan kemiskinan, marginalisasi, penggusuran dan konflik sosial.
“Tidak jarang, alam sebagai sumber penghidupan mereka terganggu akibat berbagai kegiatan pembangunan, termasuk yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan,” kata Prof. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng
Itu sebab, akses dan kontrol masyarakat pesisir dan nelayan terhadap sumber daya alam di Pulau-Pulau Kecil sangat perlu dilindungi.
Sebagaimana dituliskannya Prof Rilis pada keterangan bertajuk, Pentingnya Perlindungan Komunitas Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Proses pembangunan di Indonesia.
Prof. Rilus juga memaparkan penghapusan Pasal 35 huruf k dan Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K akan membuka peluang diskriminasi, marginalisasi, penindasan penguasa dan pengusaha terhadap masyarakat petani dan nelayan di Pulau-Pulau Kecil. Menurutnya, kedua pasal ini harus tetap ada.
“Kalaupun mau dihapus, maka harus ada pasal pengganti yang menjamin agar masyarakat petani dan nelayan di Pulau-Pulau Kecil lebih terlindungi lagi dari aktifitas pertambangan,” ujarnya.
Ahli lainnya, yang juga diajukan pihak terkait, Dr. Charles Simabura tegas meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran yang pasti mengenai Pasal 35 huruf k.
Menurut ahli, pasal tersebut tidak sejalan dengan tujuan diterbitkannya UU PWP3K yang dengan tegas mengatakan bahwa pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil bertujuan untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
“Pulau-pulau kecil dilarang untuk ditambang sesuai dengan maksud dalam tujuan UU PWP3K tersebut dan sejalan dengan prioritas pemanfaatan pulau kecil yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) yang tidak memuat kegiatan pertambangan sebagai kegiatan prioritas,” tegasnya.
Harimuddin dari INTEGRITY Law Firm mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan ini, benar-benar mendengar dan mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan untuk masyarakat nelayan dan petani yang sudah puluhan tahun berada dan hidup di sana.
“Kehadiran perusahaan tambang terutama di Pulau Kecil jelas berdampak negatif buat masyarakat setempat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh ahli Prof. Rilus tadi,” katanya.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM meminta MK RI tetap menjaga akal sehat dalam memutus perkara ini tanpa intervensi atau pesanan pihak manapun.
Sebab, jika gugatan GKP tersebut dikabulkan oleh MK, Indonesia memasuki masa kebrutalan ekstraktivisme, menempatkan pulau kecil beserta seluruh kehidupan di dalamnya sebagai wilayah penaklukan tambang yang berujung pada penciptaan eco genosida masyarakat adat Pulau kecil.
Sebagai contoh Pulau Wawonii adalah ruang hidup masyarakat adat suku Wawonii dan jika pulau tersebut ditambang selesai lah mereka bersama kehidupan di dalamnya.
“Mau geser daratan terbatas. Mau pindah Pulau? Pulau wawonii hanya ada satu di dunia. Begitu pula dengan masyarakat adat Sangihe dengan Pulau Sangihe nya dan banyak lagi di Indonesia,” ungkapnya.
Kehadiran masyarakat Wawonii, KIARA, WALHI, JATAM sebagai pihak terkait dalam permohonan ini untuk memastikan perlindungan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah hal penting dan mendesak.
Koordinator Sekretariat KORAL Mida Saragih menegaskan Penambangan di pulau-pulau kecil bertentangan dengan tujuan UU PWP3K.
Di mana, kata dia, tujuan pengelolaan pulau-pulau kecil berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a UU PWP3K yaitu: a) melindungi, bukan merusak ekologisnya; b) mengkonservasi, bukan melakukan penambangan; c) merehabilitasi; d) memanfaatkan untuk pariwisata, perikanan dan pertanian yang secara ekologis berkelanjutan; dan e) memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologi secara berkelanjutan.
“Sehingga Pasal 35 Huruf K dan Pasal 23 Ayat 2 UU PWP3K amat krusial untuk dipertahankan,” pungkasnya. (Ahmad Odhe/yat)